"Barusku Mewangilah". Buku yang Mengalir, Menampar dan Membangunkan

 





Mengalir, Menampar, Membangunkan. Inilah tiga kata yang layak saya  sematkan untuk isi buku "Barusku Mewangilah". Kok bisa?

1.      Mengalir.

Awalnya saya sempat skeptis begitu tahu bahwa buku ini mengangkat sebuah daerah sebagai tema besarnya. Biasanya sebuah buku yang isinya profil daerah akan terasa berat dan membosankan untuk dibaca. Namun bayangan itu lenyap seketika begitu saya mulai menyimak bagian awal buku tersebut. Dengan gaya tulisannya yang mengalir, pembaca akan diajak untuk melakukan perjalanan imajinatif  ke sebuah Kota Tua bernama Barus.

2.      Menampar.

Setelah saya membaca bab pertama dari buku ini langsung bisa saya tangkap spirit apa yang membuat penulis menghadirkan buku "Barusku Mewangilah". Bukan sekadar mempromosikan tanah kelahiran ayah dan kakeknya. Lebih dari itu, ada sebuah kritikan tajam terhadap bangsa besar bernama Indonesia. Bagaimana bisa bangsa ini dengan mudahnya melupakan salah satu bagian dari nusantara  yang sejak abad 6 Masehi sudah dikenal dunia internasional sebagai produsen kamper asli dengan kualitas terbaik? Salah satu tamparan itu bisa dibaca pada paragraf berikut ini:

Bila dikomparasikan, kapur barus tidak senasib dengan produk lain yang melekatkan nama daerah pada namanya. Apel Malang bisa membuat penikmatnya tahu bahwa apel itu dari kota Malang. Rambutan Aceh akan membuat orang bisa memahami bahwa buah rambutan varietas ini dari Aceh. Bahkan Bika Ambon yang aslinya dari Medan bisa membuat orang mengira penganan ini berasal dari kota Ambon. Tetapi kapur barus tidak cukup kuat untuk mendongkrak popularitas nama Barus sebagai daerah penghasilnya.

 

3.      Membangunkan

“Barusku Mewangilah” membangunkan lagi jejak sejarah kejayaan Barus di masa silam. Dari Barus ada sebuah komoditas dagang berharga mahal bernama kapur barus. Barus juga membuka lagi diskursus tentang titik nol peradaban Islam yang selama ini dimonopoli teori Gujarat. Dari Barus pula lahir tokoh-tokoh besar yang berkontribusi terhadap perjalanan sejarah Indonesia. Namun penulis tidak ingin mengajak pembaca hanya menikmati masa lalu dan menutup mata terhadap realita masa sekarang. Tidak bisa diingkari, Barus telah hilang jejak kejayaannya. Barus terpinggirkan dari catatan sejarah dan literatur ilmiah. Masyarakat Barus juga tertinggal secara ekonomi dan pendidikan. Bisakah Barus membangun kejayaan baru? Berdasarkan informasi dari buku ini, hal itu bukan kemustahilan. Masih ada banyak potensi yang bisa diberdayakan, termasuk keindahan pantai-pantai dan obyek wisata religinya. Selain itu, masyarakat Barus juga perlu sentuhan pembangunan yang bisa membuat mereka menggeliat perekonomiannya.

 


Komentar