Merdeka dari Buta Literasi, Harapan Pasca Pandemi
| Kolaborasi sekolah dengan pustakawan Jawa Timur. Photo by: Dispersip Jatim |
Kalau ada lembaga yang
melakukan survey tentang harapan masyarakat Indonesia saat ini, mungkin
mayoritas mutlak akan menjawab bebas dari pandemi Covid-19. Sebuah ekspektasi
yang wajar mengingat sudah terlalu banyak yang bosan hidup dalam ketidakpastian
sejak virus Corona menjadi wabah di Indonesia pada bulan Maret 2020. Sudah
lebih dari 1,5 tahun bangsa Indonesia diterpa berbagai berita tentang Covid,
baik itu tentang jumlah kasusnya yang mendadak melonjak, munculnya varian-varian
baru, belum lagi tentang efek dominonya. Harus diakui, pandemi Covid-19 menghadirkan
kompleksitas masalah. Bukan cuma tenaga kesehatan yang pening. Pengusaha besar
maupun kecil pening, orang kantoran pening, para guru dan siswa juga ikut
pening.
Memang tidak satupun
ilmuwan yang bisa memprediksi kapan pandemi ini berakhir. Namun semua tetap
menaruh harapan besar dan berdoa agar Tuhan Yang Maha Kuasa mengangkat pandemi
ini dari semesta, khususnya Indonesia. Pertanyaannya, setelah pandemi Covid-19
ini berakhir, mau apa?
Kalau dipikir-pikir,
berakhirnya masa pandemi akan menjadi awal babak baru dalam kehidupan bangsa
ini. Ada masalah-masalah besar lainnya yang harus dibereskan. Diantara masalah
besar itu bahkan sudah ada sebelum adanya virus Corona.
Jauh sebelum covid-19
ditetapkan sebagai pandemi oleh WHO dan kemudian mewabah pula di Indonesia, ada
tragedi lain yang tak kalah gawatnya dialami bangsa ini. Taufiq Ismail,
sastrawan angkatan 66 asal Bukittinggi menyebutnya sebagai Tragedi Nol Buku.
Bukan berarti tidak ada buku yang diterbitkan sama sekali. Walaupun jumlah buku
yang terbit per tahunnya tergolong rendah yaitu 18.000 terbitan, namun lebih
parah lagi adalah minat bacanya yang sangat minim, kalau tidak mau dikata tidak
ada minat sama sekali. Jadi buku yang terbit sebanyak belasan ribu itu tidak
ada pembacanya. Inilah bentuk tragedi yang dimaksud Taufiq Ismail.
Sinyalemen yang dikemukakan pendiri Rumah
Puisi itu kemudian terbukti dengan banyak data ilmiah dan bisa dijadikan
pegangan. Data UNESCO, badan PBB yang menangani masalah
pendidikan, menyatakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia menunjukkan
perbandingan 1 : 1.000. Artinya dari 1.000 orang hanya ada satu orang yang suka
membaca.
Rendahnya minat baca bangsa Indonesia juga
dibeberkan datanya oleh Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan
dan Kebudayaan (Puslitjakdikbud). Tahun 2020, lembaga tersebut mempublikasikan
Indeks Alibaca (Aktivitas Literasi Membaca) Nasional. Dari data ini terungkap
bahwa aktivitas liteasi membaca termasuk
kategori aktivitas literasi rendah, dengan skor 37,32. Ada empat indeks dimensi penyusunnya, antara
lain Indeks Dimensi Kecakapan sebesar 75,92, Indeks Dimensi Akses sebesar
23,09, Indeks Dimensi Alternatif sebesar
40,49 dan Indeks Dimensi Budaya sebesar 28,50.
Sederhana saja
interpretasinya. Membaca tercoret dari daftar budaya bangsa Indonesia. Terjadi
degradasi status terhadap membaca dari kewajiban menjadi kegiatan suka-suka. Indikatornya
bisa dilihat dari sumber-sumber media cetak maupun elektronik masih minim diakses.
Begitu pula dengan tingkat kunjungan ke perpustakaan atau Taman Bacaan
Masyarakat (TBM) juga masih kurang sekalipun tidak ada pandemi covid-19.
Satu data lagi yang tak kalah mengerikan
adalah hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2018
yang dirilis oleh Organisation for Economic Co-operation and Development
(OECD). Data tersebut menampilkan fakta bahwa skor kecakapan membaca pelajar
Indonesia adalah 371 dan menempati peringkat ke 72 dari 77 negara yang
disurvey. Jadi kecakapan membaca (literasi) pelajar Indonesia bukan hanya kalah
jauh dari negara besar seperti Amerika Serikat, Cina ataupun Jepang, tetapi
juga tertinggal dari negara seperti Estonia dan Belarusia.
Semua data tersebut boleh dikatakan
mencemaskan karena tragedi lemahnya literasi yang disebut Tragedi Nol Buku tadi
sudah mewabah hingga ke para pelajar yang notabene menjadi masa depan bangsa
ini. Apalagi, pemerintah sedang mencanangkan visi Indonesia Emas 2045. Akan
terasa berat perjuangan menghadirkan generasi Indonesia Emas tanpa kecakapan
literasi.
Secara historis, kekuatan literasi memang
punya peranan besar dalam peradaban sebuah bangsa termasuk Indonesia.
Berubahnya arah perjuangan bangsa pada era Kebangkitan Nasional hingga mencapai
puncaknya pada peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, berawal
dari menguatnya budaya literasi pasca penerapan Politik Etis. Budaya inilah
yang kemudian menghadirkan kaum terpelajar intelektual dengan paradigma
perjuangan baru sehingga mampu menyatukan Indonesia sebagai sebuah bangsa.
Kesadaran pentingnya kecakapan membaca atau
literasi inilah yang meredup. Bahkan masih banyak yang belum terlalu memahami
tentang makna literasi.
Arti sederhana dari literasi adalah kecakapan
membaca. Namun bukan berarti literasi hanya sebatas kemerdekaan dari buta
aksara dan angka. Esensi literasi sesungguhnya mencakp semua proses transfer
ilmu. Dimulai dari membaca teks terrulis, baik secara aktif maupun pasif
(dibacakan), membaca fenomena alam, berlajut ke proses berpikir dan menganalisis,
menghasilkan konklusi dan bila diperlukan bisa bermuara pada perumusan ide-ide
solutif. Segala proses inilah yang bisa menjadi tolok ukur kecerdasan.
Hadirnya generasi literate akan menjadi ekspektasi besar menuju Indonesia Emas 2045.
Untuk mewujudkannya, diperlukan adanya sinergi antara praktisi pendidikan yaitu
para guru di satuan pendidikan dan juga pustakawan. Tak ada salahnya mengadopsi
pola pembelajaran di negara lain yang menjadikan literasi sebagai ruhnya.
Kanada misalnya. Sinergitas antara guru dan
pustakawan membuat budaya literasi bukan hal asing untuk anak-anak Kanada. Keakraban
dengan buku sudah dibiasakan sejak kecil. Buku adalah pelarian mereka saat
mereka membutuhkan informasi. Kesadaran mereka dibangunkan untuk menjadikan
buku sebagai jendela semua pengetahuan.
Seminggu sekali,
sekolah-sekolah di Kanada selalu menyediakan jadwal berkunjung ke perpustakaan.
Dari kunjungan itu, siswa-siswanya dapat meminjam buku dan membacanya di rumah.
Pustakawan sekolah di
Kanada juga terlibat aktif, tidak pasif di belakang meja menunggu siswa datang
dan melayani peminjaman. Mereka juga terlibat aktif dengan menyampaikan story telling sehingga menarik minat
siswa untuk akrab dengan perpustakaan. Pustakawan sekolah di Kanada juga
melakukan aksi “jemput bola” dengan mengajak siswa-siswanya untuk mengujungi
perpustakaan pada jam istirahat. Mereka telah menyediakan ruang bacaan yang
bisa membuat para siswa membaca dengan nyaman dan menyenangkan.
Salah satu yang paling
ditunggu dari berakhirnya pandemi Covid-19 adalah berjalannya lagi Pembelajaran
Tatap Muka. Inilah momentum untuk memerdekakan para pelajar dari buta literasi dengan
melibatkan pendidik dan pustakawan. Betapa menyenangkannya jika siswa tidak melulu belajar di kelas. Mereka bisa juga diajak membaca literatur di perpustakaan, membaca fenomena alam dan sosial di luar kelas, dengan target terbentuknya kecerdasan spiritual, emosional dan intelektual serta terbentuknya karakter positif para peserta didik.
#LombaBlogUnpar
#BlogUnparHarapan
Komentar