Cak Durasim, Berjuang Lewat Ludrukan

 

Kata siapa seniman nggak punya idealisme? Kata siapa orang berkesenian cuma untuk cari saweran? Tidak semua seniman seperti itu. Ada juga seniman yang menjadikan seni untuk menyuarakan ide dan aspirasi masyarakat. Bahkan di era penjajahan dulu, seni juga digunakan sebagai alat perlawanan terhadap kekuasaan kolonialis. Ada lho seniman yang ditangkap dan bahkan gara-gara dia gunakan jalan seninya untuk menyerang penjajah. Kamu tahu siapa yang saya maksud? 

Kalau saya sebut nama Cak Durasim, pernah dengar nama itu? Kalau kamu pernah melintasi Jalan Gentengkali Surabaya, disana ada gedung namanya Gedung Kesenian Cak Durasim. Apa yang membuat nama Cak Durasim layak diabadikan? 

Patung Cak Durasim. Sumber: terasrurabaya.com

Boleh dibilang, Gondo Durasim alias Cak Durasim adalah r seniman cerdas dan idealis. Biarpun bukan asli arek Suroboyo, beliau adalah pemrakarsa perkumpulan ludruk di Surabaya. Tahun 1937, Cak Durasim banyak mengangkat kisah-kisah legenda Surabaya di atas pentas ludruknya. Cak Durasim pulalah yang membuat pakem bahwa antara ludruk dan tari remo adalah dua hal yang tak boleh dipisahkan. Bukan ludruk namanya jika tidak dibuka dengan remo.

Kecerdasan Cak Durasim dibuktikan sejak kedatangan Jepang yang mengambil alih kekuasaan atas nusantara dari Belanda pada tahun 1942. Penyerahan kekuasaan atas wilayah Nusantara itu dilakukan tanggal 8 Maret 1942.

Walaupun sama-sama datang untuk menjajah, namun Jepang awalnya bersikap beda dengan Belanda. Maklumlah, ada gajah di balik batu. Jepang butuh dukungan Indonesia dalam menghadapi Perang Dunia II. Demi merebut hati bangsa Indonesia, Jepang bermanis-manis dengan mengumandangkan semboyan 3A. Bukan Asah Asih Asuh, melainkan Nippon Pemimpin Asia, Nippon Pelindung Asia dan Nippon Cahaya Asia. Propaganda 3A itu kemudian dikampanyekan dalam sebuah gerakan Tiga A yang diketuai Mr Syamsuddin. Mau tahu lokasi mana yang dijadikan pionir gerakan tersebut? Ya, Surabaya.

Tetapi Jepang salah besar dalam memilih Surabaya. Ini terbukti dengan tidak adanya respon postif dari rakyat Surabaya terhadap propaganda Jepang tersebut. Arek Suroboyo yang terbiasa kritis sangat paham bahwa gerakan tersebut hanya untuk kepentingan Jepang belaka. Kalau istilah anak zaman now, Jepang cuma mau memPHP bangsa Indonesia.  Sadar dengan hal ini, Cak Durasim pun beraksi.

Melalui seni ludruknya, Cak Durasim terus membangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk tidak mau dijajah, termasuk oleh Jepang. Puncak perlawanannya terjadi saat pentas di Keputran Surabaya. Di situlah beliau melantunkan parikan Pegupon omahe doro, melok Nippon urip tambah soro.

Awalnya tentu saja Jepang tidak tahu makna parikan Cak Durasim. Maklum, mereka tidak bisa boso Suroboyoan. Namun seiring waktu, Jepang akhirnya tahu (entah dikasih tahu siapa) bahwa kidungan Cak Durasim “menyerang” Jepang dan dianggap membahayakan. Saat pentas di Mojorejo, Jombang, Cak Durasim ditangkap dan mendapat penyiksaan oleh tentara Jepang. Tanggal 7 Agustus 1944 sang seniman besar itupun meninggal.

Ketokohan Cak Durasim mendapat apresiasi banyak kalangan. Djoko Pitono, penulis buku “Tokoh Jombang”,  menyebut bahwa sebagai seorang seniman ludruk, Cak Durasim telah membangun reputasi menjulang tinggi melewati batas-batas dunia seni karena ia juga satu diantara sedikit tokoh yang berani berkata ‘tidak’ kepada penjajahan Jepang di Indonesia.

 

 

Komentar