Ralf Rangnick dan Wind of Change

Selama ini memang tidak ada hubungan kuat antara Ralf Rangnick dan Scorpions yang mempopulerkan lagu WInd of Change. Kesamaan mereka pun hanya satu hal yaitu sama-sama dari Jerman. Scorpions berasal dari Hannover, Rangnick dari Backnang. Namun sekarang antara Scorpions dan Rangnick bersinggungan di satu titik yang sama, yaitu Manchester United

Bulan September 1989, dua bulan setelah runtuhnya tembok Berlin, Wind of Change alias angin perubahan disiulkan oleh Scorpions. Bukan sekadar mewakili perasaan rakyat Jerman yang jengah dan lelah oleh Perang Dingin pembawa perpecahan antara Jerman Barat dan Timur, namun menjadi peringatan kepada semua negara sedunia bahwa perubahan adalah keniscayaan. Jerman, Rusia, dan banyak negara yang terlibat dalam konflik berkepanjangan, akhirnya menerima angin perubahan. Angin itulah yang kemudian dihembuskan ke berbagai penjuru oleh Scorpions dan sekarang terdengar nyaring di sekitaran Old Trafford Stadium, markas The Red Devils. Walau mungkin terbilang lumayan terlambat, karena  alunan angin perubahan itu sudah lebih dulu diterima oleh tetangga dekatnya, Manchester City, lalu Liverpool dan juga Chelsea, namun better late than never.

Harus diakui, pecinta klub Manchester United masih banyak yang belum bisa move on dari romantisme masa silam, khususnya selama klub itu dilatih Sir Alex Ferguson. Dunia sepak bola pastinya tidak akan pernah bisa menghapus catatan prestasi klub itu bersama Fergie. Sejumlah gelar juara prestisius pernah dicapai, antara lain 13 gelar juara English Premier League dan 2 gelar juara UEFA Champions League. Khususnya untuk fans Man United angkatan 90an, pasti akan menyebut final UCL 98 - 99 sebagai kenangan tak terlupa yaitu saat mereka sukses meraih epik comeback 2 - 1 atas Bayern Munchen. Setelah sempat tertinggal 0 - 1oleh gol Mario Basler, Man United terselamatkan berkat dua gol di masa injury time. Publik pasti masih ingat betul siapa salah satu pencetak gol itu. Dialah Ole Gunnar Solskjaer. Pada musim itu pula Man United sukses meraih gelar juara EPL dan FA Cup.

Setelah Sir Alex Ferguson menyatakan pensiun di tahun 2013, situasinya ternyata menjadi sangat tidak mudah. Pecinta Man United sepertinya belum terbiasa dengan kenyataan bahwa klub itu sudah tidak lagi dilatih Ferguson. Sebaliknya, Sir Alex pun tidak benar-benar hilang dari Man United. Konon kabarnya, terpilihnya David Moyes sebagai suksesor juga atas rekomendasinya. 

Setelah menjalani 10 bulan perjalanan bersama Moyes plus dua bulan bersama Ryan Giggs (pelatih sementara), Manchester United sempat juga dibesut oleh Louis Van Gaal dan Jose Mourinho (masing-masing dua musim). Pertimbangan terpilihnya dua arsitek kawakan itu tentunya tidak semata-mata atas dasar prestasi dan strategi tetapi lebih ditentukan oleh faktor karakter. Seperti halnya Ferguson, Van Gaal maupun Mourinho tipe pelatih yang tidak ragu untuk mendepak pemain karena dianggap tidak cocok dengan strateginya, sekalipun belabel bintang. 

Sampai disini Manchester United belum sadar bahwa secara taktikal, strategi Van Gaal yang mengedepankan penguasaan bola dan juga Mourinho yang terkenal pragmatis, sudah ketinggalan zaman. Kalaupun akhirnya kedua nama itu didepak, lebih karena tidak ada gelar juara bergengsi yang diberikan dan dianggap menghilangkan identitas permainan klub. Karena itu mereka menghadirkan lagi sosok yang direstui Sir Alex Ferguson, dianggap sangat tahu apa dan bagaimana Manchester United, dan bagian dari tim peraih treble winner. Dipilihlah Ole Gunnar Solskjaer.

Masuk sebagai pelatih sementara menggantikan Mourinho, Ole ternyata begitu disayang oleh fans klub sehingga membuatnya ditunjuk menjadi pelatih tetap di musim kompetisi 2019 - 2020 dan berlanjut di 2020 - 2021. Pada dua periode inilah fans mulai terbelah setelah klub selalu terseok-seok di awal musim. Ada yang ingin Ole Out dan ada yang mengumandangkan Semua Sayang Ole. Namun owner klub sepertinya memilih bersabar dengan capaian Ole sekalipun tidak ada gelar juara yang diberikan.

Sayangnya, selama kepelatihan Ole dengan segala "kemajuannya", manajemen klub terkesan tutup mata dan telinga terhadap perubahan yang terjadi di daratan Eropa. Justru Liverpool yang lebih cepat menerima angin perubahan itu. Hasilnya pun terbukti sangat signifikan. The Reds benar-benar menjadi Liverpool yang jauh berbeda bersama Jurgen Klopp asal Jerman. Menembus final UCL 2017 - 2018, rival klasik Setan Merah itu sukses membawa pulang "si kuping lebar" setahun berikutnya.

Terhitung sejak 2019, manajemen Manchester United memilih untuk memperkuat klub dengan menggelontorkan sejulah uang guna memberli pemain berkaliber bintang. Selain mempertahankan Pogba, mereka mendatangkan Harry Maguire, Bruno Fernandez, Raphael Varane, dan terakhir Cristiano Ronaldo. Namun ada yang tidak berubah yaitu pelatihnya. Karena pelatihnya tidak berubah, strateginya juga tidak berubah yaitu menyerahkan hasil akhir di setiap pertandingan kepada kualitas individu pemain bintangnya. Mereka abaikan kritik tentang cara bermain yang membosankan dan tidak solid sebagai sebuah tim. Mereka tidak mau belajar dari Klopp yang sukses membawa Liverpool juara EPL 2019 - 2020, setahun sesudah tim itu juara UCL. 

Setelah Liverpool, giliran Chelsea yang merasakan datangnya angin perubahan. Mungkin, salah satu yang membangunkan kesadaran mereka untuk mau berubah adalah realita di UCL 2019 - 2020. Saat itu mereka dibantai dua kali oleh Bayern Munchen di fase 16 besar. Saat main home di Stamford Bridge, The Blues dihajar pasukan Hansi Flick 0 - 3. Kemudian mereka pasrah saat away ke Allianz Arena dan pulang dengan kekalahan 4 - 1 dari The Bavarians yang akhirnya juara setelah mengalahkan Paris Saint Germain di final. Masuk pertengahan musim kompetisi 2020 - 2021, setelah menuai hasil-hasil negatif, Chelsea memberhentikan legenda mereka, Frank Lampard. Kemudian mereka mendatangkan pelatih asal Jerman lainnya yang sukses membawa PSG ke final UCL, Thomas Tuchel. Bersama Tuchel, Chelsea sukses membawa pulang trofi Champions League setelah mengalahkan Manchester City di final.

Kenyataan bahwa pelatih asal Jerman menghegemoni gelar juara UEFA Champions League tiga musim berturut-turut tidak serta merta membangunkan manajemen klub Manchester United untuk menerima angin perubahan. Mereka tetap keukeuh dengan Ole bersama pasukan bintangnya. Fans klub pun lagi-lagi terbelah. 

Seperti sudah diketahui, tekanan untuk berubah semakin keras setelah menuai beberapa kali catatan negatif sejak 24 Oktober 2021. Setelah dibantai 0 - 5 oleh Liverpool dengan Mohammed Salah sebagai bintang utamanya, rumor pemecatan terhadap Ole sudah kencang terdengar dengan kandidat penggantinya adalah Antonio Conte. Namun sejauh ini Ole masih terselematkan oleh dua hal yaitu dukungan Sir Alex Ferguson dan kemenangan 0 - 3 atas tuan rumah Tottenham Hotspur. Posisi Ole bahkan sempat diyakini akan tetap aman hingga akhir musim setelah Conte justru menerima lamaran Tottenham untuk menggantikan pelatih sebelumnya. 

Namun kenyamanan sesaat itu akhirnya kembali memanas setelah menuai hasil buruk di tiga laga terakhir. Nyaris kalah dari tuan rumah Atalanta dan pulang membawa 1 poin, Manchster United dibuat mainan oleh tetangga berisiknya, Man City. Memang hasil akhir hanya kalah 0 - 2, tidak separah saat lawan Liverpool. Namun kalau bukan karena De Gea, mungkin Man City bisa pulang dengan kemenangan 0 - 7. Posisi Ole semakin kritis. 

Kiprah Ole sebagai juru taktik pun tamat juga pada tanggal 20 November 2021. Di luar dugaan, Man United kembali kalah besar dengan skor 4 - 1. Bukan oleh klub papan atas tetapi oleh Watford, penghuni peringkat 16 klasemen sementara, dengan pelatihnya yang baru sebulan bergabung, Claudio Ranieri. Hasil tragis inilah yang sudah tidak bisa diterima oleh pendukung dan petinggi klub. Ole pun dipecat.

Selepas Ole, sederetan nama muncul sebagai calon pengganti. Manajemen klub sepertinya sudah mulai terbuka pikirannya untuk menerima angin perubahan. Selain tidak tertarik untuk menjadikan Carrick sebagai pelatih sementara, mereka juga enggan mendatangkan pelatih dengan status legenda klub seperti Steve Bruce ataupun Mark Hughes. Sejumlah nama diincar demi membuat klub bisa tampil dengan gaya dan karakter baru yang lebih atraktif, agresif, cepat, dan meraih hasil meyakinkan. Pilihan itupun akhirnya jatuh pada sosok Ralf Rangnick. Tentu bukan semata-mata karena dari Jerman seperti halnya Klopp, Flick, dan Tuchel. Namun reputasinya sebagai pencetus gegenpressing adalah daya tarik utamanya. 

Sekalipun hanya dikontrak sebagai pelatih hingga akhir musim sebelum dijadikan Direktur Teknik musim depan, di pundak Rangnick terletak ekspektasi untuk membangun sistem permaian baru. Sosok Rangnick diyakini mampu mengeluarkan Manchester United dari keusangan menuju era sepakbola modern yang terus menyerang dan langsung menekan saat lawan memegang bola. 

Welcome to Old Trafford, Ralf Rangnick. Selamat menikmati Wind of Change, The Red Devils! Karena perubahan adalah keniscayaan yang butuh pengorbanan. 

Apakah Cristiano Ronaldo adalah salah satu korban Revolusi ala Rangnick? 

Ralf Rangnick Membawa Wind of Change ke Manchester. Photo by kompas.com

Baca Juga: Ballon d'Or 2021 Untuk Lionel Messi? 



          

 


   

Komentar