Sinyal Wani dari Benteng Kedung Cowek

 

Kalau kamu disuruh menyebutkan bangunan bersejarah di Surabaya yang bisa membuat kita ingat dengan peristiwa 10 November, mungkin kamu ingatnya cuma sama Jembatan Merah dana Hotel Majapahit. Selain itu? Gedung RRI Surabaya. Kalau benteng Kedung Cowek? Jangankan ingat, tahu juga belum. 

Tidak salah juga sih. Karena yang lebih banyak dikenalkan melalui literatur sejarah adalah Hotel Majapahit, RRI, dan Jembatan Merah. Benteng Kedung Cowek seperti tersembunyi dari sejarah.

Hotel Majapahit yang awal berdirinya bernama Hotel Oranje dan kemudian berganti nama menjadi Hotel Yamato di zaman kekuasaan Jepang menjadi saksi bisu kenekadan pemuda-pemuda Surabaya. Di hotel itulah terjadi insiden antara pasukan AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) yang ditumpangi Belanda melawan para pemuda Surabaya. Berawal dari sikap mayak Belanda di bawah pimpinan Ploegman yang mengibarkan bendera merah putih biru, padahal jelas Indonesia sudah menyatakan kemerdekaannya. Setelah upaya perundingan ditolak dan sempat terjadi baku hantam,  aksi nekad paling epik yang dilakukan para pemuda terjadi saat dua orang berhasil menurunkan paksa bendera Belanda dan merobek warna birunya dengan gigi. Tersisa warna merah putih, bendera itupun dinaikkan lagi ke puncak tiangnya. Menurut catatan sejarah, insiden Yamato inilah titik awal memasnya hubungan pasukan AFNEI dengan masyarakat Surabaya.

Singkat cerita, setelah melewati beberapa kali kontak senjata, Sekutu menyebarkan ultimatum yang intinya adalah meminta masyarakat dan para pemimpin pasukan perlawanan di Surabaya untuk menyerah. Jika tidak, Surabaya akan digempur habis-habisan. Namun dasarnya orang Surabaya yang selalu satu nyali, WANI, mereka bertekad untuk terus melawan.

Tanggal 9 November 1945 sekitar pukul 11 malam, melalui siaran radio di RRI, Gubernur Suryo dan Bung Tomo mennyampaikan pengumuman perang. Di sinilah terjadi orasi fenomenal Bung Tomo:

Saudara-saudara kita semuanya.

Kita bangsa indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris itu,

dan kalau pimpinan tentara inggris yang ada di Surabaya.

Ingin mendengarkan jawaban rakyat Indonesia.

Ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini.

Dengarkanlah ini tentara Inggris.

Ini jawaban kita.

Ini jawaban rakyat Surabaya.

Ini jawaban pemuda Indonesia kepada kau sekalian.

Hai tentara Inggris!

Kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu.

Kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu.

Kau menyuruh kita membawa senjata-senjata yang telah kita rampas dari tentara jepang untuk diserahkan kepadamu

Tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada tetapi inilah jawaban kita:

Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah

Yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih

Maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga

Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah keadaan genting!

Tetapi saya peringatkan sekali lagi.

Jangan mulai menembak,

Baru kalau kita ditembak,

Maka kita akan ganti menyerang mereka itukita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka.

Dan untuk kita saudara-saudara.

Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka.

Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!

Dan kita yakin saudara-saudara.

Pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita,

Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar.

Percayalah saudara-saudara.

Tuhan akan melindungi kita sekalian.

Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!

Esoknya, meletuslah pertempuran 10 November. Dari sekian banyak titik pertempuran, paling terkenal  adalah Jembatan Merah.

Sebenarnya ada satu bangunan lagi yang juga merekam jejak perlawanan arek-arek Suroboyo melawan pasukan Sekutu. Lokasinya ada di Surabaya Utara. Sayangnya bangunan itu cenderung dilupakan keberadaannya sehingga tidak banyak yang tahu. Itulah nasib benteng Kedung Cowek. Padahal dari benteng tersebut, bekas pasukan Heiho (bentukan Jepang) yang mengubah nama menjadi Batalion Sriwidjaja melawan serbuan kapal-kapal Inggris yang dikomando Kapten R.C.S Garwood.

Sengitnya perlawanan masyarakat di Surabaya  membuat Inggris kesal karena imajinasi mereka akan bisa menang mudah, tidak menjadi kenyataan. Akhirnya seorang komandan detasemen artileri tentara Inggris di Surabaya bernama Brigadir Jenderal Guy Loder Symonds memutuskan turun gelanggang. Dengan pesawat pengintai Mosquito, ia terbang dari Lapangan Udara Morokrembangan untuk memonitor jalannya perang dari udara.

Tetapi ternyata hari itu menjadi hari naas Symonds. Saat melintasi benteng, dia disambut  para pejuang yang siaga dengan meriam. Salah satunya bernama Goemoen. Dia mendapat meriam itu dari gudang senjata Don Bosco milik tentara Jepang. Awalnya, meriam yang dibawa Goemoen dan disimpan di benteng Kedung Cowek itu dalam kondisi rusak berat.

Setelah diperbaiki, meski tidak sempurna, Goemoen dibantu orang-orang kampung dan bekas tentara KNIL mulai mencari sasaran tembak. Merekapun melihat pesawat Guy Loder Symonds melintas.

Terjadilah kejadian fantastis. Ternyata meriam itu bisa dioperasikan. Padahal pernah rusak berat dan penembaknya pun kurang terlalu mahir menggunakannya. Namun tembakan bertubi-tubi meriam tersebut bisa menghantam sayap pesawat Guy Loder hingga jatuh terbakar di sekitar pantai timur Surabaya. Sang Brigjen dan seluruh kru tewas.

Sekarang memang tidak ada lagi kolonialisme asing di atas bumi nusantara. Namun bukan berarti jejak sejarah perjuangan mereka yang telah mengorbankan jiwa ragaya untuk kemerdekaan negeri ini ditelantarkan begitu saja. Sangat menarik jika benteng Kedung Cowek bisa dijadikan destinasi wiisata sejarah. Bersama Hotel Majapahit, gedung RRI dan Jembatan Merah, benteng Kedung Cowek bisa ikut mengirimkan sinyal keberanian kepada generasi penerus bangsa. Berani berjuang mempertahankan dan memajukan negeri ini sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya.




Komentar