Dicatat ataupun tidak oleh sejarah, peran para ksatria
Airlangga dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan kenyataan
yang tidak bisa dinafikan. Sebagai produsen insan-insan cendekia dengan segala
pemikirannya, Universitas Airlangga (Unair) dan kampus-kampus lainnya selalu
dijadikan tumpuan harapan masyarakat untuk menjadi katalisator peradaban.
Berdiri secara resmi pada tanggal 10 November 1954, segenap
civitas akademika Unair memiliki tanggung jawab moral untuk bisa
mengimplementasikan nilai-nilai kepahlawanan dalam perjalanannya. Sebagai
institusi akademik yang memegang Tri Dharma Perguruan Tinggi, sudah seharusnya
Unair menjadikan pengabdian kepada masyarakat sebagai muara dari pendidikan dan
pengajaran serta penelitian dan pengembangan yang dilakukannya. Dengan segala
rekam jejaknya selama ini, quo vadis Universitas Airlangga?
Memiliki visi menjadi universitas yang mandiri, inovatif,
terkemuka di tingkat nasional dan internasional, Unair dituntut untuk concern dan bisa memberi solusi atas
masalah nasional serta global. Unair harus berani melangkah lebih jauh dari
posisi sebagai perguruan tinggi terbaik nomor 4 seIndonesia versi Times Higher
Education World University Rankings (THE WUR) 2022. Sebagaimana target yang
dipasang Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristek Dikti),
Universitas Airlangga akhirnya sukses menempati peringkat 465 World University
Rangkings. Sebuah kewajaran jika publik memiliki ekspektasi agar Unair dalam
setiap forum akademik dan tulisan ilmiahnya tidak hanya bicara Indonesia tetapi
juga dunia.
Peningkatan Kualitas Produk
Sebagai pihak yang berkepentingan atas produk perguruan
tinggi, masyarakat pasti akan menguji kelayakan Unair sebagai salah satu dari
500 World Class University. Bukan kuantitas yang menjadi tolok ukurnya melainkan
kualitas. Publik tidak terlalu perlu mengetahui jumlah riset dan karya ilmiah yang telah
dihasilkan. Masyarakat lebih butuh untuk mengetahui gagasan solutif apa yang direkomendasikan
Unair dalam forum-forum dan jurnal ilmiahnya terhadap berbagai masalah riil di
masyarakat, terutama masalah kesejahteraan yang adil dan merata. Sangat baik untuk nama besar Universitas Airlangga
jika karya intelektualnya bisa dijadikan referensi akademis bagi para pemegang kekuasaan
sehingga bisa menyusun sistem pembangunan berkelanjutan. Dengan sistem ini, pergantian penguasa tetap bisa membuat pembangunan berjalan hingga semakin mencapai tujuannya, utamanya yaitu terciptanya masyarakat dunia tanpa kemiskinan (no poverty), tanpa kelaparan (zero
hunger), dan bisa merasakan kehidupan yang sehat sejahtera (Good Health and Well-Being).
Agar Universitas Airlangga dengan semua produk ilmiah yang
dihasilkan bisa menjadi katalisator peradaban, kampus tersebut perlu melakukan
dua hal. Pertama adalah meningkatkan kualitas literasinya. Kedua adalah menjaga
keindependensian kampus terhadap kekuasaan. Unair dan perguruan tinggi lainnya
harus menjalankan peran sebagai mitra intelektual yang kritis dan konstruktif terhadap
pemegang kekuasaan. Sangat berbahaya jika institusi akademik seperti Unair
harus terperangkap dalam lingkaran oligarkhis
sehingga melupakan poin ketiga dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu mengabdi
untuk kepentingan masyarakat.

Komentar